Mengapa Pluto dikeluarkan dari sistem tata surya kita?
Jawabannya karena planet Pluto ukurannya terlalu
kecil sehingga tidak layak disebut sebagai planet, selain itu orbit yang
dimiliki oleh pluto tidak sesuai/berbahaya untuk planet lain (dapat
bertabrakan dengan planet lain), tetapi pluto juga tidak dapat memancarkan sinar sendiri jadi pluto juga
bukan bintang, maka dari itu pluto disebut benda langit.
Pluto telah mendapat nama baru sesuai dengan statusnya saat
ini sebagai planet kerdil. Sejak sepekan lalu Pusat Planet Minor (MPC),
organisasi resmi yang bertanggung jawab untuk pegumpulan data tentang asteroid
dan komet di dalam sistem tata surya, ternyata telah mendaftarkan bekas planet
kesembilan itu sebagai asteroid ke-134340.
Masuknya Pluto dalam katalog asteroid itu menegaskan keputusan Uni Astronomi Dunia tiga minggu lalu untuk menyingkirkan Pluto dari keluarga planet tata surya. Sejak itu Pluto hanya disetarakan dengan obyek-obyek kecil tata surya dengan garis orbit yang sudah pasti.
Bulan-bulan Pluto, Charon, Nix dan Hydra dianggap sebagai bagian dari sistem yang sama dan tidak didaftarkan dengan nomor yang berbeda. "Mereka hanya akan disebut 134340 I, II, dan III," kata Brian Marsden, Direktur Emeritus MPC.
Masuknya Pluto dalam katalog asteroid itu menegaskan keputusan Uni Astronomi Dunia tiga minggu lalu untuk menyingkirkan Pluto dari keluarga planet tata surya. Sejak itu Pluto hanya disetarakan dengan obyek-obyek kecil tata surya dengan garis orbit yang sudah pasti.
Bulan-bulan Pluto, Charon, Nix dan Hydra dianggap sebagai bagian dari sistem yang sama dan tidak didaftarkan dengan nomor yang berbeda. "Mereka hanya akan disebut 134340 I, II, dan III," kata Brian Marsden, Direktur Emeritus MPC.
Mulai Kamis (24/8/2006) jangan pernah terpeleset mengucapkan Planet Pluto. Karena sejak hari itu, Pluto sudah tidak lagi berhak menyandang predikat sebagai planet.
Sidang Umum Himpunan Astronomi Internasional (International Astronomical Union/IAU) Ke-26 di Praha, Republik Ceko, yang berakhir 25 Agustus, menghasilkan keputusan bersejarah dalam dunia astronomi dengan mengeluarkan Pluto dari daftar planet-planet di Tata Surya kita. Mulai sekarang, anggota Tata Surya hanya terdiri dari delapan planet, yakni Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.
Dalam resolusi tersebut dinyatakan, sebuah benda langit bisa disebut planet apabila memenuhi tiga syarat, yakni mengorbit Matahari, berukuran cukup besar sehingga mampu mempertahankan bentuk bulat, dan memiliki jalur orbit yang jelas dan "bersih" (tidak ada benda langit lain di orbit tersebut).
Definisi tersebut adalah definisi universal pertama tentang planet sejak istilah planet dikenal di kalangan astronom, bahkan sebelum era Nicolaus Copernicus yang tahun 1543 membuktikan Bumi adalah salah satu planet yang berputar mengelilingi Matahari.
Dengan definisi baru tersebut, Pluto tidak berhak menyandang nama planet karena tidak memenuhi syarat yang ketiga. Orbit Pluto memotong orbit planet Neptunus sehingga dalam perjalanannya mengelilingi Matahari, Pluto kadang berada lebih dekat dengan Matahari dibandingkan Neptunus.
Pluto kemudian masuk dalam
keluarga baru yang disebut planet kerdil atau planet katai (dwarf planets).
Keluarga ini beranggotakan Pluto dan benda-benda langit lain di Tata Surya yang
mirip dengan Pluto, termasuk di dalamnya asteroid terbesar Ceres, satelit
Pluto, Charon, dan beberapa benda langit lain yang baru saja ditemukan.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, Dr Taufiq Hidayat, keputusan Sidang Umum IAU tersebut adalah puncak perdebatan ilmiah dalam astronomi yang sudah berlangsung sejak awal 1990-an lalu. Perdebatan tersebut dipicu berbagai penemuan baru yang menimbulkan keraguan apakah Pluto masih layak disebut planet atau tidak.
"Karakteristik Pluto memang berbeda dengan planet-planet lainnya. Bahkan komposisi kimianya lebih menyerupai komet daripada planet," ungkap astronom yang mendalami bidang ilmu-ilmu planet ini.
Selain itu, perkembangan teknologi teleskop juga membawa pada penemuan berbagai benda langit yang masuk dalam kelompok Obyek Sabuk Kuiper (Kuiper Belt Object/KBO). Sabuk Kuiper sendiri adalah sebutan untuk wilayah di luar orbit planet Neptunus hingga jarak 50 Satuan Astronomi (SA/1 Satuan Astronomi = jarak rata-rata Matahari-Bumi, yakni sekitar 149,6 juta kilometer) dari Matahari.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, Dr Taufiq Hidayat, keputusan Sidang Umum IAU tersebut adalah puncak perdebatan ilmiah dalam astronomi yang sudah berlangsung sejak awal 1990-an lalu. Perdebatan tersebut dipicu berbagai penemuan baru yang menimbulkan keraguan apakah Pluto masih layak disebut planet atau tidak.
"Karakteristik Pluto memang berbeda dengan planet-planet lainnya. Bahkan komposisi kimianya lebih menyerupai komet daripada planet," ungkap astronom yang mendalami bidang ilmu-ilmu planet ini.
Selain itu, perkembangan teknologi teleskop juga membawa pada penemuan berbagai benda langit yang masuk dalam kelompok Obyek Sabuk Kuiper (Kuiper Belt Object/KBO). Sabuk Kuiper sendiri adalah sebutan untuk wilayah di luar orbit planet Neptunus hingga jarak 50 Satuan Astronomi (SA/1 Satuan Astronomi = jarak rata-rata Matahari-Bumi, yakni sekitar 149,6 juta kilometer) dari Matahari.
Hasil sidang Umum Himpunan Astronomi Internasional ke-26 di
Praha, Ceko, 25 Agustus lalu, mencabut status Pluto sebagai planet ke sembilan
dalam tata surya kita. Dalam sidang tersebut Pluto dinyatakan tidak masuk dalam
kategori planet namun hanya sebagai benda angkasa biasa. Definisi baru planet
dalam sidang tersebut berubah, yaitu memiliki orbit yang mengelilingi Matahari,
memiliki massa yang cukup besar dengan diameter lebih dari 800 kilometer. Ciri
terakhir adalah memiliki orbit yang tidak memotong orbit planet lainnya.
Sedangkan dalam kenyataannya, Pluto sudah dikenal sebagai planet ke sembilan
dalam sistem tata surya kita. Namun, dalam pengamatannya, ternyata Pluto
memiliki orbit yang sering kali menyimpang atau bersinggungan dengan orbit
planet lainnya. Berdasar definisi terbaru itulah, akhirnya Pluto ditetapkan
sebagai benda angkasa biasa dan planet kerdil.
Beberapa KBO sangat menarik perhatian karena berukuran hampir sama atau bahkan lebih besar daripada Pluto (diameter 2.300 km) dan ada yang memiliki satelit atau "bulan". Beberapa obyek tersebut, antara lain, Quaoar (diameter 1.000 km-1.300 km), Sedna (1.180 km- 1.800 km), dan yang paling terkenal adalah obyek bernama 2003 UB313 yang ditemukan Michael Brown dari California Institute of Technology (Caltech) pada 2003 lalu. Obyek yang dijuluki Xena tersebut memiliki diameter 2.400 km, yang berarti lebih besar daripada Pluto. Xena sempat dihebohkan sebagai planet ke-10 Tata Surya.
Tidak hanya kehilangan statusnya sebagai planet kesembilan
di tata Surya, nama Pluto kini tinggal kenangan. Sejak 7 September, Minor Planet
Center (MPC), organisasi yang bertanggung jawab mengumpulkan data mengenai
asteroid dan komet di Tata Surya memberinya identitas baru sebagai asteroid
dengan nomor 134340. "Satelit-satelit yang mengelilingi Pluto, yakni
Charon, Nix, dan Hydra dianggap satu sistem sehingga tidak diberikan penomoran
berbeda," kata direktur emeritius MPC, Brian Marsden. Namun, ketiganya
akan disebut 134340 I, II, dan III. Penamaan ini merupakan tindak lanjut
keputusan Himpunan Astronomi Internasional (IAU) yang mengeluarkan Pluto dari
kategori planet yang ditetapkan dalam Sidang Umum IAU. Meski belum didefiniskan
secara formal. Pluto dikelompokkan ke dalam kategori planet kerdil bersama
asteroid terbesar Ceres, dan Xena yang dipopulerkan sebagai planet kesepuluh
saat penemuannya. Dengan masuknya Pluto sebagai asteroid, sejauh ini ada
136.563 objek asteroid yang telah dicatat MPC. Sebanyak 2.224 objek baru
dicatat selama seminggu terakhir dan Pluto merupakan yang pertama. Xena yang
saat penemuannya diberi identitas 2003 UB313 kini juga dikategorikan asteroid
dengan nomor 136199. Sedangkan, dua objek baru yang ditemukan di daerah Kuiper
Belt yakni 2003 EL61 dan 2003 FY9 disebut asteroid dengan nomor 136108 dan
136472. Meski demikian, MPC juga mengeluarkan pengumuman terpisah yang
menyatakan bahwa pemberian identitas nomor asteroid kepada Pluto dan
objek-objek besar dekat orbit Neptunus tidak menghalangi kemungkinan
pengelompokan ganda. Misalnya, saat IAU menentukan katalog spesifik astronomi
mengenai planet kerdil, objek-objek tersebut mungkin masuk dalam kelompok ini.
mungkin masuk dalam kelompok ini.
Sejak saat itu, lanjut Taufiq, terjadi perbedaan pendapat di kalangan astronom. "Pilihannya adalah memasukkan Ceres, Charon, dan 2003 UB313 ke dalam keluarga planet sehingga jumlah planet menjadi 12, atau mengeluarkan Pluto. Akhirnya pilihan kedua yang disepakati," tutur mantan Ketua Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung ini.
Kesepakatan itu sendiri bukannya datang dengan mudah. Taufiq mengatakan, pengambilan keputusan itu bahkan dicapai dengan cara pemungutan suara di antara para anggota IAU yang hadir setelah didahului perdebatan yang sangat sengit. Empat astronom senior dari Indonesia turut serta dalam Sidang Umum IAU tersebut, yakni Jorga Ibrahim, Iratius Radiman, Suryadi Siregar, dan Ny Permana Permadi. Mereka belum bisa diwawancarai karena belum kembali di Tanah Air sampai tulisan ini dibuat.
Kontroversi
Keputusan melepas status planet dari Pluto tentu saja sangat mengejutkan semua pihak. "Kata 'planet' dan gagasan tentang planet bisa menjadi sangat emosional karena itu adalah hal yang kita pelajari sejak kita masih kanak-kanak," ungkap Richard Binzel, profesor ilmu-ilmu planet dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menentang "pemecatan" Pluto, seperti dikutip Associated Press.
Orang paling terpukul dengan keputusan ini adalah Patricia Tombaugh (93), janda Clyde Tombaugh, ilmuwan yang menemukan Pluto pada 18 Februari 1930. "Ini sangat mengecewakan dan sangat membingungkan. Saya tidak tahu bagaimana harus menghadapi ini, rasanya seperti kehilangan pekerjaan," tuturnya kepada AP dari rumahnya di Las Cruces, New Mexico.
Beberapa pihak memprediksi debat mengenai status Pluto tidak akan berakhir di sini. Alan Stern, ketua misi pesawat ruang angkasa NASA, New Horizon, yang diluncurkan ke Pluto, Januari lalu, mengaku merasa "malu" terhadap keputusan itu. Meski demikian, misi senilai 700 juta dollar AS dan baru akan tiba di Pluto pada 2015 itu tetap akan dilanjutkan. "Ini benar-benar sebuah definisi yang ceroboh. It's bad science. Ini belum selesai," ujar Stern.
Wajar
Orbit Pluto yang sangat lonjong dan tidak sejajar dengan bidang lintasan planet lainnya juga membuat planet ini unik. Pluto juga sempat dianggap sebagai jawaban dari misteri Planet X, sebuah planet hipotetis yang diduga ada di luar orbit Neptunus dan menyebabkan gangguan pada orbit planet Uranus dan Neptunus. Meski ukuran Pluto kemudian terbukti terlalu kecil untuk menjadi Planet X, dugaan tersebut menjadi bagian dari legenda Pluto.
Selain itu, keputusan pencabutan Pluto dari keluarga planet Tata Surya ini juga membawa konsekuensi perubahan seluruh buku pelajaran, kamus astronomi, buku pintar, dan ensiklopedia di dunia yang sudah terlanjur mencantumkan Pluto sebagai planet ke-9. Bayangkan kerepotan yang akan terjadi.
Namun, Taufiq Hidayat mengatakan, inilah konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan. Perubahan definisi planet dan keluarnya Pluto dari keluarga planet hanyalah sebuah pengingat bagi kita semua bahwa ilmu pengetahuan yang kita pahami dan kita yakini kebenarannya sekarang ini bukanlah sebuah kesimpulan final. Masih banyak kebenaran yang belum kita temukan.
http://tulisdunia.blogspot.com/2010/03/pluto-dikeluarkan-dari-tata-surya.html